Pagi itu, hujan deras turun membasahi bumi. Atap sekolah yang sudah
tua tidak mampu lagi menahan derasnya air hujan. Ruang kelas pun tak
jauh berbeda dengan kondisi di luar, basah. Ikal dan kesembilan temannya
terpojok di sudut kelas tak berdaya. Namun di tengah suasana yang kuyup
tiba-tiba dari arah lapangan sekolah melintas sosok perempuan.
Berpayung setangkai daun pisang, perempuan itu menembus hujan menuju ke
arah sepuluh anak yang menantinya dengan wajah berbinar. Dia adalah NA
Muslimah Hafsari, guru satu-satunya di sekolah itu.
Kenangan akan pemandangan saat duduk di kelas 3 SD itu begitu
membekas pada diri Ikal. Sejak hari itu dia berjanji suatu hari, jika
dirinya berhasil menjadi seorang penulis, dia akan menulis kisah tentang
Ibu Mus, sang ibu guru dan teman-teman di SD-SMP Muhammadiyah Belitong
Timur itu.
Puluhan tahun kemudian, Ikal yang tak lain dari Andrea Hirata
mewujudkan janjinya itu. “Usai peristiwa itu saya berjanji suatu hari
saya akan menulis buku untuk guru saya itu. Dan setiap hari janji saya
itu saya ceritakan kepada teman-teman Laskar Pelangi (LP). Ketika saya
sudah bekerja, janji saya itu ditagih oleh teman-teman saya. Apalagi
kemudian Ibu Mus jatuh sakit. Mereka begitu khawatir, dan mendesak saya
untuk segera menyelesaikan buku itu,” kisah Ikal.
Dalam tiga minggu buku itu selesai, dan langsung dibawa Ikal ke
kampungnya di Belitong Timur, Bangka Belitung. Ajaibnya, sang ibu guru
langsung sembuh setelah mendapat “kado” dari muridnya yang telah
berhasil itu. “Buku LP merupakan ungkapan terima kasih sebesar-besarnya
kepada semua guru saya, termasuk mendiang KA Harfan Effendy Noor yang
tak pernah mengharapkan rasa terima kasih kecuali melihat siswanya
menjadi orang yang berhasil. Ketika saya perlihatkan ke Ibu Mus, wow dia
menangis, pokoknya nggak terlukiskan sama kata-kata. Dan dia langsung
sehat kembali ,” kata Andrea.
Ternyata naskah fotokopi itu lalu “dicuri” oleh seorang sahabatnya
dan diserahkan kepada penerbit. Penerbit yang beruntung ini, Bentang,
langsung jatuh cinta dan lantas menerbitkannya. Ternyata novel anak
kelima dari pasangan Seman Said Harun Hirata dan Masturah ini berdampak
besar.
Tak hanya bagi Andrea dan pembaca LP, tetapi juga mampu menggerakkan
hati para pakar pendidikan untuk memperbaiki sistem pendidikan.
Kabarnya, SD Muhammadiyah, tempat Andrea dan anggota Laskar Pelangi
bersekolah dulu menjadi terkenal di Belitong dan mendapat perhatian dari
pemerintah daerah setempat. Andrea juga sangat bersyukur Ibu Mus, guru
yang dia cintai itu kini mendapat penghargaan yang layak berkat buku
tersebut. Dia masih ingat bagaimana Ibu Mus menggotong balok-balok kayu
untuk menahan agar bangunan sekolah mereka tidak roboh.
“Sudah
sepantasnya beliau mendapatkan semua itu atas pengabdian dirinya yang
luar biasa,” ujarnya.
Selain itu, berkat Laskar Pelangi, Andrea kini dapat membuka tempat
bimbingan belajar bagi anak-anak di kampung halamannya. Tempat bimbingan
belajar itu menjadi tempat orang belajar ilmu pengetahuan dan agama
Islam. Dia tidak ingin pengalaman para sahabatnya, terutama Lintang yang
sebenarnya paling jenius namun terpaksa putus sekolah, terulang kepada
“adik-adik”nya di masa ini.
—–
Andrea Hirata – Sastrawan dari Kampung Belitong
Ini kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong,
Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh
dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena
muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.
Pada hari pendaftaran murid baru, kepala sekolah dan ibu guru
satu-satunya yang mengajar di SD itu tegang. Sebab sampai siang jumlah
murid baru sembilan. Kepala sekolah bahkan sudah menyiapkan naskah
pidato penutupan SD tersebut. Namun pada saat kritis, seorang ibu
mendaftarkan anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. Semua
gembira. Harun, nama anak itu, menyelamatkan SD tersebut. Sekolah pun
tak jadi ditutup walau sepanjang beroperasi muridnya cuma 10 orang.
Kisah luar biasa tentang anak-anak Pulau Belitong itu menjadi novel
dengan judul Laskar Pelangi (LP) oleh Andrea Hirata, salah satu dari 10
anak itu. Banyak orang memuji novel memoar tersebut karena jalinan
ceritanya yang memikat sekaligus penuh muatan nilai moral.
“Mengharukan…,” kata Korrie Layun Rampan. “Menarik…,” komentar Sapardi
Djoko Damono. “Menyentuh…,” kata Garin Nugroho.
Pujian dari mereka menjadi jaminan bahwa LP yang kemudian berkembang
menjadi novel tetralogi itu memang memiliki nilai lebih. Pembaca bukunya
semakin menegaskan pujian itu. Tiga judul yang sudah terbit yakni
Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor menempati posisi best seller
dengan angka penjualan lebih dari 100 ribu kopi. Buku pertama yakni
Laskar Pelangi bahkan sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan
diterbitkan di sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Malaysia,
Thailand, Singapura, dan Myanmar. Dan tak lama buku LP akan diterbitkan
di Eropa dan Amerika Serikat, tentu dalam terjemahan bahasa Inggris.
Karya debut ini membuat pemilik nama lengkap Andrea Hirata Seman Said
Harun yang dipanggil Ikal oleh teman-temannya menjadi semacam
selebritis baru di jagad sastra Indonesia. Meski hal itu dibantah
mati-matian olehnya, paling tidak sejumlah penghargaan berkat novel itu
telah diterimanya, yang terbaru Aisyah Award dari Muhammadiyah. Buku
ketiga Edensor juga masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award 2007
untuk kategori prosa. Bahkan sutradara kawakan Riri Riza dan produser
Mira Lesmana sudah siap menggarap kisah LP ke layar lebar.
Menariknya lulusan Master of Science dari Universite de Paris,
Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, Inggris itu belum
pernah menulis buku sastra. Sebaliknya tesis ilmiah Andrea di kedua
universitas itu merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama
karya orang Indonesia. Buku ini telah beredar sebagai referensi ilmiah.
Hal itu terungkap dalam wawancara staf PT Telkom Bandung yang bertutur
kata halus dengan SP. Berikut petikan wawancara yang berlangsung belum
lama ini di Jakarta :
Sejumlah pembaca Laskar Pelangi mengaku novel ini menyegarkan
sekaligus mengharukan. Ide apa yang melatarbelakangi penulisan novel
ini?
Buku Laskar Pelangi (LP) pada awalnya bukan untuk diterbitkan. Niat
saya untuk menulis buku ini sudah ada sejak saya kelas 3 SD, ketika saya
demikian terkesan pada jerih payah kedua guru SD saya Ibu Muslimah dan
Bapak Harfan Effendi, serta 10 sahabat masa kecil saya, yang disebut
Kelompok “Laskar Pelangi”. Buku LP saya tulis sebagai ucapan terima
kasih daan penghargaan kepada guru dan sahabat-sahabat saya itu. Seorang
teman, tidak sengaja menemukan draf buku itu di kamar kos saya, dan
diam-diam mengirimkannya pada penerbit. Sampai hari ini saya masih heran
ternyata buku LP masih merupakan buku laris.
Masa kecil anda benar-benar seperti di Laskar Pelangi?
Masa kecil saya dan para tokoh di LP hidup di sebuah komunitas buruh
tambang di Belitung. Kami tuh native di sana. Kami mengalami seperti apa
yang saya ceritakan dalam Laskar Pelangi. Jadi, ada pendidikan dimana
pendidikan hanya bisa diikuti oleh anak-anak para pegawai dalam pangkat
tertentu. Kemudian ada fasilitas yang hanya bisa dimasuki orang-orang
dengan kelas sosial tertentu. Saya rasa, sekarang kita bisa melihat hal
tersebut sebagai sebuah pelanggaran HAM. Itu terjadi dalam masa kecil
kami.
Mengapa masa kecil yang penuh penderitaan itu begitu membekas dalam diri Anda?
Masa kecil itu penuh dengan magical moments. Masa kecil kan membentuk
kita pada hari ini. Apa yang kita lakukan hari ini, bagaimana persepsi
kita terhadap hidup ini, semua terbentuk saat masa kecil. Dan saya
merasa beruntung masa kecil saya dilalui di sekolah Muhammadiyah, sebuah
sekolah miskin dan puritan, tapi saya rasa bagaimana saya melihat
perspektif hidup saya sekarang, itu adalah bagaimana saya melalui masa
kecil saya di sekolah itu. Bagaimana saya melihat persahabatan. It’s
magic! Saya selalu merasa beruntung, dan saya selalu merasa punya tempat
untuk pulang. Bertemu dengan guru tercinta dan sahabat-sahabat saya,
Laskar Pelangi.
Berapa lama Anda menyelesaikan novel ini?
Saya memang sejak dulu ingin menulis, tetapi sebelum menulis LP saya
sama sekali tidak pernah menulis sastra. Bahkan cerpen pun belum pernah.
Saya hanya menulis, berkontemplasi, mengingat untuk buku itu. Tiga
minggu selesai. Memang banyak yang mempertanyakan hal tersebut, sampai
dalam suatu forum milis dikatakan saya menulis dalam keadaan trance, di
luar kemampuan saya. Apalagi mengingat novel itu sangat tebal 529
halaman. Dan saya tidak memiliki latar belakang sastra. Ini merupakan
novel saya yang pertama. Namun kembali saya ingatkan LP adalah sebuah
memoar. Oleh karena itu, setiap lembarnya sudah ada di kepala saya sejak
lama.
Soal latar belakang dan lokasi kejadian, Anda cukup detail dalam novel ini. Semua nyata? Atau ada juga imajinasi di dalamnya ?
LP adalah sebuah memoar, oleh karena itu semua karakter dan
kejadiaanya adalah nyata. Cara menulis saya memang cenderung detail,
karena saya tertarik memberi gambaran yang filmis pada para pembaca.
Tentu novel adalah sebuah karya sastra, dan sastra tidak dapat
dipisahkan dengan imajinasi. Imajinasi dalam LP tidak dimanifestasikan
dalam bentuk mereka-reka karakter dan kejadian, tetapi di dalam cara
menceritakan.
Dalam bertutur Anda begitu detail. Apakah Anda melakukan survei data untuk penulisan novel ini?
Tentu saja, tetapi saya terbantu karena LP adalah memoar, artinya
saya sudah memiliki informasi yang mengendap di kepala saya. Riset yang
paling intensif adalah saya harus mengkonfirmasikan lagi beberapa hal
yang berkenaan dengan Biologi, Fisika, dan Kimia waktu mendeskripsikan
karakter Lintang yang jenius. Juga ketika mendeskripsikan anatomi
kandungan material tambang di Belitong.
Ini karya sastra debutan Anda. Bagaimana penulis pemula seperti Anda
dapat membuat novel yang begitu baik dan menuai pujian di mana-mana?
Saya bukan pembaca sastra yang fanatik. Hanya sedikit buku sastra
yang saya baca. Saya lebih banyak membaca buku ilmiah, teori ekonomi,
pokoknya tentang ilmu pengetahuan. Namun ternyata buku sains memberi
kontribusi yang besar dan membuat saya kuat dalam hal penulisan
kontekstual. Bahkan menurut saya ilmuwan itu sangat sastrawi. Saya juga
percaya orang Melayu terlahir sebagai penyair, story telling yang ulung.
Ada peribahasa kalau kau pinjamkan uang pada orang melayu, akan putus
perkara. Tapi kalau kau pinjamkan dia kata, maka akan berpanjang cerita.
Dari memoar, Anda kemudian menulis hingga menjadi tetralogi. Bagaimana itu bisa terjadi?
Setelah melihat reaksi pembaca, saya mulai berpikir ternyata menulis
buku bisa memberi pengaruh secara luar biasa. Terpikir untuk membuat
tetralogi, itu bukan karena dorongan pasar. Saya hanya ingin memberi
semangat pada penulis baru untuk jangan takut menghasilkan karya. Sebab
buku punya nasib sendiri. Saya tahu menulis itu tidak mudah. Maka saya
tidak punya pandangan tentang hal mendasar dalam teknis menulis.
Pandangan saya adalah mengenai apresiasi. Dalam hal ini saya rasa karya
dari seorang penulis bukan hanya persoalan bagaimana masyarakat akan
menghargai tulisannya, tapi bagaimana ia sebagai penulis akan menghargai
dirinya sendiri. Artinya, jika ia menghargai dirinya sendiri, hendaknya
ia menulis sesuatu yang memiliki integritas. Tidak melulu patuh pada
tuntutan pasar.
Berarti ada pesan lain ketika anda menulis LP, tak hanya sekadar memoar?
LP adalah buku tentang orang Indonesia kebanyakan. Di dalamnya ada
kisah cinta, hubungan dengan teman, keinginan untuk maju, rasa percaya
diri. permbaca meliha dirinya sendiri di buku itu. Buku LP membua tana
kuat menertawakan kemiskinan, memparodikan tragedy sehingga anda
bertenaga kembali. Agar orang jangan mudah berputus asa. Belajarlah
dengan betul, itu sebenarnya pesan utama saya. Klasik sebenarnya, tapi
dengan bercontoh dari Laskar Pelangi, kesulitan apapun terutama dalam
masalah pendidikan, bisa diatasi. Buktinya, anggota Laskar Pelangi bisa
survive. Pokoknya don’t give up. Kalaupun harus bekerja, atau menjual,
ya pokoknya apa saja, lakukanlah untuk mendapatkan pendidikan.
Kemiskinan bukan alasan untuk berhenti belajar. Pendidikan itu penting
untuk perubahan.
Apa obsesi Anda setelah menjadi penulis dengan karya best seller?
Saya pegawai BUMN, saya ingin mempromosikan ke kalangan birokrat agar
banyak membaca buku sastra untuk mengaktifkan otak kanan mereka. Sebab
dewasa ini kebijakan harus bersifat kreatif , sebab jika terlau banyak
menjanjikan masyarakat akan semakin skeptis. Saya masuk ke dalam
birokrat karena saya melihat itu satu-satunya cara untuk berbuat dalam
memecahkan berbagai masalah yang selama ini kita lihat di dalamnya. Di
mata saya apabila bangsa ini ingin berubah, orang yang ada di dalam
posisi strategis harus berkorban demi sesuatu yang lebih baik ke depan.
Itu yang coba saya lakukan. Saya ingin melawan jargon anda jujur anda
hancur. Sebaliknya saya ingin buktikan anda jujur anda prevail. Sebab
cepat atau lambat kemenangan akan memihak kebenaran. Itu yang guru saya
ajarkan. Persoalannya hal itu tidak mudah, sehingga saya sering merasa
kesepian di tengah keramaian.
dari : http://fnoor.wordpress.com/2008/02/13/andrea-hirata-menulis-karena-janji/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar