LENTERA
Tanpa
Budaya Kita sama. Gelap. Tidak terlihat.
Babak
1
(Suara
deru angin. ketika Bulan mulai bicara.)
Panggung gelap, lampu semula
berkedip-kedip kemudian terang. Seseorang berada di atas panggung dengan
lentara di tangan nya. Orang itu menatap penonton dengan lentera di tangan nya.
Senyap.
Pembawa lentera (Bulan) :“Bisa kah sang puteri kembali
tersenyum”. (Musik dari suara gendang) (Jeda lima
detik)
Suara menyahut dari
belakang panggung : “Bisa kah puteri kembali tersenyum”.
Pembawa lentera (Bulan) :“Bisakah negeri kembali terang. (Jeda
lima detik)
Suara menyahut dari
belakang panggung :“Bisakah negeri
kembali terang”.
Pembawa
Lentera (Bulan) :“Maukah putri
kembali tersenyum dan menerangi seluruh negeri”. (Jeda lima detik)
Suara menyahut dari
belakang panggung :“Bagaiaman cara nya membuat sang puteri kembali tersenyum dan membawa kembali sang cahaya”.
Waktu diam, tidak ada suara di
belakang panggung, pembawa lentera menatap penonton dari kanan kekiri. (Suara
angin perlahan menghilang)
Pembawa lentera (Bulan)
: (Pejamkan mata, hirup udara, buka mata
perlahan-lahan) “Ku hirup bawa yang asing, membuat berbeda, menjadi asing”.
Perlahan
menaikan lentera ditangannya. Mematikan apinya (Suara angin menjadi semakin
nyaring) . Panggung gelap.
Babak 2
(Musik
panting menjadi bunyi dasar yang terus ada disepanjang pentas) Sebelum lampu
hidup, suara musik sudah terdengar).
Lampu hanya menerangi si pemuda, ia
duduk di pondok (trap) dengan satu lentera di samping nya.
Pemuda : “Yang terasing, yang semakin
asing, yang semakin tak betaring, karena yang masuk tidak di saring. (Kembali
memainkan panting nya: Suara panting semakin nyaring).
Pemuda : “Yang semakin tak penting, yang
semakin terbanting, yang semakin kering”.
(Kembali memainkan panting nya : Suara panting semakin nyaring).
Menaruh panting nya, lampu perlahan
menyala, menerangi seluruh pangung. Pemain panting berdiri di tengah-tengah
panggung dengan panting nya.
Pemuda : (Menatap kiri dan kanan seperti takut ada yang mendengar apa yang akan
dia katakan) ( Suara Panting sangat rendah), aku dengar kegelapan sudah
menyelimuti seluruh negeri, karena sang puteri tidak lagi tersenyum, hahaha, ku
dengar dia amat sangat cantik, sampai jika kau melihat nya kau pasti akan jatuh
cinta, (menatap ke atas, kekiri dan
kanan) tapi dia tidak lagi tersenyum, (mondar-mandir dengan panting nya,
memaikannya), ku dengar di cari seseorang yang membuat nya kembali tersenyum.
(kembali mondar mandir, berhenti di sisi kanan panggung)”.
Orang tua keluar
dari balik panggung, dengan lentera di tangan nya dan tongkat di tangan yang
lain.
Orang
tua : (Mengatur nafas terlebih
dahulu, berada ditengah panggung) “Bulan redup, bintang tak timbul, matahari di
telan waktu, gelap, gelap, gelap, tidak
ada siang, hanya ada malam, tidak ada biru, hanya ada hitam, tidak ada
lagi cahaya, mirip seperti aku, hampir mati, tidak di kenal, tidak di kenang
lagi”.
Pemuda : “Jadi kau sebut apa lentera
ditanganmu”.
Orang
tua : (Terkejut (Suara musik mengejutkan), terjatuh ke tanah, lentera masih
di tangan nya) “Ada manusia lain, ada ternyata”. (Tangan nya bergetar, menunjuk Pemuda, berdiri perlahan).
Pemuda menjulurkan tangan nya untuk membantu orang
tua, perlahan menuntun orang tua untuk duduk di atas pondok . Si orang tua
bediri dengan gugup. Si pemuda mondar-mandir. Tapi ketika sampai kedepan si
Orang tua. Ia melangkah sambil menunduk.
Pemuda :
“Kau pasti tau kenapa semua nya gelap”.
Orang tua : “Kau harus nya tau tanpa bertanya
padaku”.
Pemuda : “Siapa tau berbeda?”.
Orang tua : “Semua orang di seluruh negeri tau
mengapa”.
Pemuda : “Apa nya yang mengapa”.
Orang tua : “Mengapa kau mempersulit pembicaraan”.
Pemuda :
(Tertawa) “Si raja masa tidak
paham mengapa anak nya tidak tersenyum”.
Orang tua :”Jangan begitu, dia diposisi yang
sulit”.
Pemuda
: “Jangan begitu, semua orang di
posisi yang sulit”. (Lewat didepan si
orang tua dengan menunduk)
Orang tua : “Jangan begitu, dia lebih sulit”.
Pemuda : “Jangan begitu, jangan sampai kita
terus jangan begitu”.
Orang
tua : (Mulai kembali berdiri) “Jangan salah menyalahkan, kau sendiri apa
yang bisa kau lakukan agar negeri ini kembali terang”.
Pemuda : “Kenapa harus aku yang memikirkan
jika ada raja”.
Orang tua : “Kenapa kau ada, jika yang memikirkan
hanya cukup raja”.
Pemuda : “Lalu apa yang kau lakukan”.
Orang
tua : (Melangkah mondar-mandir) “Telah banyak mantra yang ku ciptakan,
tapi belum berhasil membuat puteri tersenyum, semula hanya denga kata-kata,
kemudian mantra itu ku buat ber irama, irama nya kemudian ku campur dengan
gendang, tapi tidak juga berhasil”.
Pemuda : “Si puteri sudah melihat semua
nya?”.
Orang
tua : “Aku tidak berani bertemu
dengan nya, jadi semua mantra itu ku kirim kan lewat udara. Kau sendiri
bagaimana”.
Pemuda
: “Aku tidak berani bertemu
dengannya, aku takut sekali jadi jatuh cinta. Lalu mati karena hatiku tidak
bisa menampung itu semua”.
Orang tua : “ Mati dengan perasaan penuh cinta itu
bagus”.
Pemuda : “Kalau hanya aku yang merasakannya
repot juga. Kalau aku saja yang rindu, bisa-bisa aku gila”.
Orang
Tua : “Benar juga. Mati gila dan
tidak paham-paham kalau seumur hidup cinta sendirian itu menyedihkan memang.
Jangan diteruskan. Tapi coba difikir lagi, kalau kau tidak pernah mencoba.
Kenapa begitu yakin untuk mengakhirinya.
Pemuda : “ Gelap memang rawan, rawan
memunculkan kegalauan, lupakan sajalah”.
Orang tua : “Jadi kita butuh terang”.
Pemuda :
“Sangat”.
Orang tua : “Memang nya kau mau kemana?”.
Pemuda :
“Kemana saja, banyak tempat indah disini, semua bagus kalau malam, tapi tidak
kalau gelap, tidak ada yang bagus kalau sedang gelap.
Orang tua :
“Tidak ada yang bagus kalau sedang gelap, jadi kapan terang terjadi?”.
Pemuda
: “Sulit terjadi kalau semua
menunggu gerakan orang lain”. (Pemuda
melangkah kearah kiri)
Orang
tua : “ Gelap benar-benar akan
menghancurkan seluruh dunia”. (Orang tua
melangkah kearah kanan)
Pemuda
: “Sang puteri merepotkan banyak
orang”. (Pemuda melangkah kearah kiri)
Orang
tua : “Namun sangat indah”. (Orang tua melangkah kearah kanan)
Pemuda : “Dan membuat banyak orang jatuh
cinta”. (Pemuda melangkah kearah kiri)
Orang
tua : “Kita semua tau seperti apa
puteri”. (Orang tua melangkah kearah
kanan)
Pemuda
: “Kita harus menemui nya untuk
bisa membuat nya kembali tersenyum dan membuat segala nya kembali terang, kita
harus bergerak”. (Pemuda melangkah
kearah kiri)
Orang
tua : (Orang tua melangkah pelan mendekat pada si Pemuda) “Tunggu, tunggu, dengarkan aku sebentar, kita
harus berusaha keras untuk sampai ke istana dan bicara pada pengawal, minta
persetujuan, barangkali menyewa kendaraan, menyewa penginapan, banyak biaya,
banyak tenaga, banyak, banyak, banyak, aku lelah melakukannya, aku sudah tua,
kau masih muda, sudah saat nya aku mati, sudah saat nya aku istirahat, negeri
ini butuh anak muda sepertimu, nafasku tercekat-cekat, malaikat telah mencekat,
umur ku sudah akan di cut , aku tidak
lagi bisa berjuang, tidak bisa.
Pemuda : (Pemuda melangkah kearah yang berlawanan) “Drama, drama, drama,
tanpa korea mirip india, orang- orang tua senang bilang bahwa pundak anak muda
siap untuk segalanya, tapi sebenarnya tidak (Menggeleng ke arah penonton) bagaimana bisa naik ke atas tanpa tangga,
memangnya maling mangga, bagaimana bisa tau tentang naga, jika dongeng nya
tidak pernah di ceritakan, bagaimana bisa tau tentang ini, tentang itu, tidak
kenal ini, tidak kenal itu, lebih senang ini, lebih senang itu, ini, itu, ini,
itu. Tapi tidak pernah mengajari dengan runtun, jika di tanya, tidak tau
jawabannya, bagaimana kita bisa jatuh cinta, jika tidak kenal rupa, tidak kenal
suara, tidak kenal rasa. Aku tidak tau jalan menuju kesana Orang tua”.
Orang tua : “Memang nya hanya aku saja yang tau jalan
nya?”.
Pemuda : “Tidak! banyak yang tau, tapi hanya
kau yang perduli”.
Orang tua : “Aku tidak perduli”.
Pemuda : “Kalau begitu kita nikmati saja
kegelapan ini, sampai tanaman layu semua, kita kelaparan, lalu mati
bersama-sama”.
Orang tua : “Aku tidak akan lama”.
Pemuda
: “Peradaban hilang, jika tuhan
bertanya apa saja yang kau lakukan di bumi, mau jawab apa?”.
Orang tua : “Lima pertanyaan yang itu tidak ada”.
(Duduk kembali dengan perlahan).
Pemuda : “Tuhan itu maka kuasa, guru saja
senang menambah soal, tuhan lebih kuasa”.
Orang
tua : “Kalau aku ikut, jika aku
kelelahan di jalan, kau mau memapahku, kau mau mengendongku, kau mau
menyuapiku?”.
Pemuda
: (Duduk kembali dengan perlahan) “Segala nya, nanti bisa kulakukan,
yang penting kita kembalikan dunia ini seperti
yang seharusnya (Meyakinakan)”.
Orang
tua : “Yang penting aku bisa
menjawab pertanyaan tuhan”. (Catatan: Tekanan ditiap akhir kalimat)
Seorang
perempuan masuk ke dalam panggung dengan lentera di tangan nya.
Perempuan
: Aku lelah, aku lesu, bukan kurang
darah bukan. Aku eh, bukan. Bukan kurang darah, tidak usah beli samabion. Tidak
usah-tidak usah. Tidak usah. (Mengatakan kalimat-kalimatnya pada penonton.
Duduk ala puteri duyung ditengah panggung, ditengah Pemuda dan orang tua) siapa
kalian?”.
Pemuda : “Bukan siapa-siapa?”.
Perempuan : Gelap, kegelapan. Mana avatar. Saat
kita membutuhkannya dia menghilang. (menangis
histeris, mendekat pada Pemuda dan orang tua, saat ia bicara, lentera yang ia
bawa dibawa kesana sini, membuat orang tua dan pemuda meleok-leok seperti ular
untuk menghindar. Duduk ditengah-tengah panggung). Aku akan mati, sebentar
lagi (terisak)”.
Pemuda : “Drama drama drama, bukan korea,
bukan india”.
Orang tua : “Asli Indonesia”.
Perempuan : “Ribut sekali kalian”.
Orang tua : “Itu diri mu sendiri”.
Perempuan : Apa ini, kenapa gelap sekali. (Memegangi kepala nya frustasi) tidak
ada harapan, gelap, gelap, gelap (menatap
orang tua dan pemuda bergantian) sejak kapan gelap?”.
Pemuda : “Sejak kapan terang!”.
Perempuan : “Benar, sejak kapan terang”.
Orang tua dan pemuda duduk bersila
dengan kesal, menaruh lentera mereka di samping kiri tubuh mereka. Perempuan
duduk di antara mereka berdua, ia juga menaruh lentera di samping kiri nya.
Perempuan : “Jadi, sang puteri masih tidak
tersenyum?”.
Pemuda : “Menurut mu?”.
Perempuan
: “Sangat gelap, meteor bisa
bertabrakan kalau begini (menghapus air
mata nya), sebenarnya kenapa ia tidak lagi tersenyum”.
Orang tua : “Sebenarnya apa yang bisa membuat nya
kembali tesenyum”.
Perempuan
: “Tidak ada bintang. Si bulan juga
menghilang. Terus terusan malam, pasti masalah besar sedang sang puteri alami (Mengatakannya sambil menatap ke atas),
dia perlu seseorang, atau mungkin banyak orang (merenung)”.
Orang tua : “Kau bisa melakukannya”.
Perempuan : “Tapi aku tidak pintar berbohong,
segalanya memang tidak baik-baik saja, segala nya sulit, kita lambat, dan
segala hal diluar sana, sangat cepat. Raja seperti mati, rakyat tak bergerak ,
masalah berawal dari salah menyalahkan, tak bergerak untuk mengubah keadaan,
terlalu sulit sekarang, terlalu terpecah-pecah.”. (Menunduk, menghapus sisa-sisa air mata di wajah nya).
Pemuda : “Jadi, ayo kita bergerak”. (Mulai berdiri)
Perempuan : “Tunggu sebentar, aku tidak mau, masih
ada rakyat yang lain, jangan aku.
Pemuda
: “Jadi, untuk apa yang bicara
tentang keadaan, mengubah, raja seperti
mati, rakyat tak bergerak”.
Perempuan : “Karena terlalu sulit sekarang, puteri
sudah terlalu sedih”.
Pemuda
: “Jangan sampai dia menjadi
lebih sedih, jangan sampai segala nya menjadi semakin sulit”.
Perempuan
: “Kenapa harus aku, aku lelah, baru
saja aku sampai ke sini, aku juga sedih, aku juga tidak tersenyum, tidak ada
yang memikirkan ku, kalian saja yang pergi, hibur si puteri, ku dengar raja
menyiapkan banyak hadiah untuk yang bisa membuat si puteri tersenyum”.
Orang tua : “Kau tidak mau, istana dan segala hal
di dalam nya”.
Perempuan : “Nanti kalau kalian sudah berhasil, bagi sedikit padaku”.
Pemuda
: “Kalau begitu tidak usah,
tidak usah ada yang pergi, biar saja gelap, memang mungkin sudah seharus nya
begini, puteri tidak mau tersenyum bukan karena tidak ada yang bisa
menghiburnya tapi memang tidak ada yang ingin melakukannya”. (Mondar-mandir).
Dukun : “Memang lebih enak menyalahkan”.
Perempuan :
“Tapi kalau begini, kita akan terus-terusan gelap, kalau begini tidak ada
artinya kecantikan ku.
Pemuda : “Jadi bagaimana, kita pergi atau
tetap disini?”.
Orang
tua : “Aku ikut apa yang kau katakan,
sudah seharusnya orang tua seperti ku hanya melihat kerja anak muda”.
Pemuda : “Mana bisa begitu, yang tua lah
yang harus nya memimpin”.
Orang
tua : “Mana bisa begitu, kalau
orang tua seperti ku yang memimpin, kalau aku tiba-tiba mati sebelum kita
sampai bagaimana?bagaimana?”
Pemuda : “Aku menyerah, terserahlah, aku
tidak bisa juga bergerak sendiri, aku tidak tau jalan, aku tidak memahami banyak hal tentang
perasaan”.
Perempuan : “Jangan membuatku merasa bersalah (Kembali duduk)”.
Pemuda
: “Merasa bersalah tanda nya kau
masih perduli, pada negeri ini, pada kegelapan sialan ini. Lagi pula kau kan
perempuan. Kau pasti paham hari siputeri.
Orang
tua : “Sudah-sudah, kalau begini
terus aku bisa mati sebelum kita bahkan berdiri, bantu aku, bantu aku, biar
saja, biar saja nanti aku mati di jalan, biar saja kalian tersesat”.
Perempuan : “Seakan hanya dia yang tau jalan”.
Orang tua : “Memang nya kau tau”.
Perempuan : “Orang selain aku maksud ku”.
Orang tua : “Yang tau jalan banyak, yang perduli
hanya aku”. (Menatap kearah pemuda)
Perempuan : “Cari saja yang lain, yang paham
perasaan puteri”.
Pemuda
: “Sayang nya kurasa, hanya kita
bertiga yang bersedia, hanya kau dan kami berdua, aku punya semangat untuk
pergi, orang tua ini tau jalan, tapi apa yang harus kami lakukan saat sampai
disana, tidak ada.
Perempuan : (Menghela nafas dalam-dalam) “kadang kadang aku merasa tidak ada guna nya,
bisakan kalian berdua memahami perasaan ku”.
Pemuda
: “Jika iya kami tidak akan
memaksa mu ikut bersama kami, hanya ada kita yang perduli, mungkin yang lain
tau jalan kesana, punya perasaan yang baik dalam memahami sang puteri atau
bersemangat tentang bagaimana cara nya membuat puteri kembali tersenyum dan
mengembalikan cahaya, tapi mereka tidak perduli, hanya ada kita, tidak ada
artinya semua hal yang indah di negeri ini jika segala nya gelap”.
Perempuan : “Aku tidak tau aku sepenting itu”.
Orang tua : “Aku juga”.
Pemuda : “Sebenarnya aku juga”. (Mereka semua saling tatap).
Pemuda
: “Tidak ada yang bisa kita
benar-benar tau, kita hanya mencoba menerka, kita hanya mencoba memahami,
mencoba mengerti, berteori, tapi jika tidak ada satu pun dari kita yang
bergerak tidak ada artinya, kita semua akan terpendam dalam kegelapan, puteri
tidak akan kembali tersenyum. (Berdiri dengan bersemangat)
Orang
Tua : “Tolong aku bangun, (Pemuda
membantu Orang tua berdiri) barangkali hidup ku menjadi bermakna sebelum mati karena hal
ini”.
Perempuan : “Tidak ada artinya secantik apa aku jika
kita terus dalam kegelapan”.
Mereka
bertiga berdiri menatap langit ( ke atas).
Babak
3
Setting:
Sebuah jalan. Dengan tanaman-tamanam yang layu.
Tiba-tiba ada cahaya, melesat-lesat (Suara
angin) . Dari kiri kekanan. Ke atas kebawah (Cahaya lampu)).
Orang Tua
: Nah nah nah ada yang mau main-main
Perempuan
: Main apa-main apa? Main hago, main hati?
Pemuda tampa tenang hanya
kebingungan. Si orang tua tampak kesal. Si perempuan paling heboh. Cahaya lampu
kembali ke sisi kiri, Cahaya kemudian menetap ketempat waktu berada. (Suara
lesatan angin berhenti, berubah menjadi suara deru angin) (Waktu melangkah
keluar dari sisi kanan panggung, cahaya mengikuti si Waktu).
Waktu
: Aku mendengar rencana
kalian. Pergi keistana. Ingin bertemu
sang puteri. Ingin gelap menghilang. Ingin selamatkan dunia.
Orang Tua :
Kau tidak pernah tua
Waktu : Aku tidak punya usia.
Orang tua :
Kau datang bersama apa, apa yang membuatnya datang kesini?
Waktu : (Berbicara dengan penonton) Aku akan mati segera. Puteri tidak
memancing matahari tiba. Cahaya akan semakin gulita. Waktu akan segera
berhenti. (Kembali menatap lawan
bicaranya)Aku dalam perjalanan pergi. Singgah karena melihat kalian disini.
Perempuan :
Kau kenal diputeri?
Waktu
: Aku kenal siputeri. (Berbicara dengan seseorang).
Perenpuan :
Semua orang bilang dia cantik.
Waktu :
Semua orang bilang . (Berbicara dengan seseorang).
Perempuan :
Tapi dia tidak tersenyum.
Waktu :
Apa orang-orang sedih? (Berbicara dengan seseorang).
Perempuan :
Semua orang kesal karena kegelapan.
Waktu :
Semua orang? (Berbicara dengan seseorang).
Perempuan :
Tentu saja.
Waktu :
Kenapa semua orang kesal? (Berbicara dengan seseorang).
Perempuan :
Karena berkat dia semua gelap!
Waktu :
Berkat yang mengesalkan.
Perempuan
: Kenapa kau mau ikut perjalanan ini
Waktu :
kenapa kalian ingin ikut perjalanan ini?
Perempuan :
(Wajah kesal yang lucu) Berkat!
Pemuda :
Siapa dia?
Orang tua :
Tebak saja lah.
Pemuda :
Memangnya kita dikuis.
Orang
Tua : Dia waktu. Masa lalu berada
padanya dan ketika puteri tidak ingin tersenyum lagi. Ia tidak akan bisa sampai
kemasa depan.
Pemuda : Kenapa? Kau mengenalnya.
Orang
Tua : Semua orang tua, tau tentang
waktu. (Kepenonton)
Waktu :
Kenal siputeri dari mana?
Perempuan :
Dari ceritalah
Waktu :
Apa yang dikatakan cerita
Perempuan :
Dia cantik dan jika dia tersenyum negeri akan kembali terang menderang
Waktu :
Tapi tidak ada yang pernah bertemu dengannnya.
Perempuan
: Ada, tapi bukan kami
Waktu
: Ada ?, Tapi bukan kalian
Perempuan
: Apa? Kenapa? Ekpresi apa itu?, kau pernah bertemu dengannya
Waktu :
Iya, dan dia tidak bisa bersinar sendirian
Perempuan :
Pem-bo-hong
Waktu :
Dia perlu orang lain
Perempuan :
Pem-bo-hong dua Catatan:(Rasakan tensi pembicaraan. Kapan
harus
nyaring
kapan harus terbawa bicara Si Waktu).
Waktu :
Dia bulan, dia perlu
matahari
untuk bersinar
Perempuan
: Dia bulan?
Waktu
: Dia perlu matahari untuk bersinar. (Berbicara pada penonton) Kalian tau
apa itu matahari. Matahari adalah cahaya besar yang berkumpul disatu titik.
Sekarang matahari sedang berpencar. Lupa harus berkumpul kembali. Namun,
saatnya akan tiba, sebentar lagi.
Perempuan
: Dia.
Waktu :
Dia mati jika tidak ada matahari.
Perempuan :
Dia bulan.
Waktu :
Kita selalu malam. Karena dia bulan.
Perempuan :
Kita
Waktu : Sekarang bulan memerlukan semua
orang, ia memanggil semua jiwa untuk datang, sebuah mantra dikirim si Tua,
puteri memakainya untuk semua manusia. Sekarang sang puteri sedang berusaha
mengumpulkan semua orang. Di sebuah titik, hati akan menggiring kalian untuk
sampai. Kalian tidak perlu mencapai istana. Sebentar lagi, genggam erat-erat
lentera (Cahaya meningalkan bulan, ia menghilang). (Suara deru angin bercampur
dengan suara panting, Perempuan, orang tua dan Pemuda, terdiam. Lampu mati).
Babak
4
Lampu
gelap. Kemudian pada satu titik ditengah panggung seorang perempuan bersimpuh
dengan baju putihnya. Ia menatap kearah kiri dan kanan. Seperti bintang jatuh. Terdengar
suara panting yang menyayat. Suara gendang yang berlomba. Suara ombak. Suara
obrolan yang kacau. Sang puteri berdiri dengan. Semua suara senyap hanya
tinggal suara panting yang lemah.
Bulan/Puteri : Seseorang
mengirimiku mantra lewat udara, satu kata yang mendatangkan seluruh jiwa.
Me-nya-la! Me-nya-la!. Ribuan kaki melangkah datang ketitik ini. Ribuan langkah
menjejak tanah dan tau dimana ia punya rumah. Ribuan hembusan nafas berkumpul
dalam satu udara, dalam satu denyut nada. Me-nya-la! Me-nya-la.
Titik-titik-titik. Bergerak. Mendekat. (Bulan tersenyum) Denyut. Hanyut. Satu
demi satu manusia memahami betapa dekat dan lekat masa lalu. Betapa terang sang
beda diluasnya dunia. Me-nya-la dan setiap manusia tidak sendiri dalam membela
miliknya. Titik titik itu bergerak membentuk garis. Lalu baris. Lalu daya mengisap
semuanya. Semua orang berkumpul. Untuk merayakan keberkahan beda. Semua
orang datang untuk tau masa lalu, budaya dan rasa tidak akan pernah sirna.
Me-nya-la. (Sang puteru merentangkan
tangannya, menatap kelangit-langit seakan menunggu hujan turun) (Catatan : Kata
menyala akan terus terdengar sebagai latar musik. Sementara cahaya lampu
semakin redup. Lalu hilang).
Babak
5
Suara
Pembawa lentera (dari balik panggung) : “Disana sang puteri”.
(Suara
gendang yang kuat)
Lampu
menyala menerangi Puteri
Bulan/Puteri : Me-nya-la. (1) Semua barisan
bersiap keluar dari tempat berada.
Bulan/Puteri
: “Telah ditemukan
cara membawa kembali sang cahaya”.
Bulan/Puteri
: “Me-nya-la”. (2) Semua
barisan mulai keluar dengan kebingungan.
(Suara
gendang perlahan mulai masuk)
Bulan
/Puteri : Me-nya-la. Semua pembawa lilin dengan pormasi lima
sudut perlahan mengelilingi puteri dengan mengatakan (3) Laki mengatakan: Caranya? Perempuan
mengatakan: Menyala. (Suara gendang perlahan-lahan hingga semakin nyaring)
Suara semua rakyat
: ME-NYA-LA.
Suara
semakin nyaring dan lampu panggung semakin terang.
Waktu
keluar dari kerumunan bersama lentera ditangannya.
“Titik menjadi garis. Garis menjadi baris.
Maka daya akan kuat. Maka kita akan terlihat. Karena dunia tertarik pada satu
yang berbeda. Bukan pada ribuan hal serupa. Ketika serempak bergerak, Budaya
akan tetap ada. Kita tidak akan mati (tatap penonton dari kiri kenanan).
(Panitia
hidupkan lampu ponsel)
“Kita
akan hidup berjuta-juta tahun lagi”.
Lampu
panggung mati. Hanya tertinggal lampu dari waktu.
Suara
dari luar panggung: Cahaya ditangan waktu kembali.
Lampu
mati
Selesai
Karakter
Pemuda (Zaldi) : Penuh semangat,
bicaranya bijaksana.
(Rasakan
semangat seorang pemuda berumur dua puluhan yang tidak pernah tau kegagalan,
yang ia tau hidup harus berlanjut. Masih banyak yang harus dilakukan).
Perempuan (Eliyanti) : Gerak geriknya berlebihan,
terlalu drama dan emosinya
meledak-ledak.
(Rasakan
jadi seseorang yang penuh dengan keluhan. Hidup terasa sangat amat berat. Masalah
terlalu banyak. Semuanya terasa menyesakkan, menggelisahkan, mengerikan).
Orang tua (Habibah) : Ia sering tergagap ketika bicara,
selalu pesismis dan seakan selalu ketakutan. Konyol.
(Tidak
banyak harapan yang tertinggal. Mencintai negeri tidak cukup untuk
mempertahankan negeri. Hanya hati yang dia punya dan itu tidak cukup untuk
melakukan sesuatu. Lagi pula kalau dia bertindak apakah akan banyak hal
berubah. Tapi kalau dia tidak bergerak apa yang terjadi dengan negeri yang ia
cintai).
Puteri/Bulan (Hifni) : Gerakannya
lembut dan lambat seperti angin. Matanya sendu dan teduh. Menatap lembut pada
penonton. Ada kekeluan.
(Rasakan
menjadi seseorang yang terluka. Tapi tetap ingin mencintai sesuatu yang
melukainya. Dia tidak dinginkan tapi harus tetap ada).
Waktu (Tesa) : Kuat. Catatan:menjiawai setiap kata diakhir
babak. (Berbicara seperti pendongeng).
(Kamu
adalah seseorang yang telah hidup sangat lama. Kamu berbicara sesuai dengan
siapa kamu berbicara. Kamu adalah seseorang yang bijaksana, seseorang yang
rendah hati, seseorang yang berbicara
karena orang lain harus mendengar kata-katamu bukan karena kamu ingin
orang lain mendengarnya karena egomu).
Dipentaskan pada malam Puncak Sergab bastra PBSI FKIP ULM Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar