Total Tayangan Halaman

Jumat, 18 Januari 2019

CERPEN Apakah di Surga Masih Akan Ada Yang Kedua?


Apakah di Surga Masih Akan Ada Yang Kedua?
Di meja makan kudengar obrolan Tuan dan Nyonya, suara Tuan yang lambat dan suara Nyonya yang lembut. Suara dentingan garpu dan sendok telah berhenti. Suara Anak-Anak yang bercerita tantang sekolah, tentang mainan mereka, tentang janji nonton film diakhir pekan, sudah menghilang. Semua Anak, tiga jumlahnya telah pergi kesekolah, diantar Supir. Sayup, suara Nyonya yang lembut tenggelam, oleh isakan.
Keluarga ini bahagia, seharusnya menjadi lebih bahagia ketika mereka akhirnya bertemu dengan seseorang yang minta dipanggil ahli agama, yang datang setiap malam selasa. Mengajari mengaji dan terjemah ayatnya. Tapi, tidak, sebelumnya tak pernah sekalipun sepanjang Aku bekerja, Nyonya tidak bahagia. Namun kali ini, Nyonya terisak, kufikir tentu saja ada yang rusak, hatinya.
“Bunda dengar sendiri kata Bapak ahli agama kita, Ayah lupa ayat berapa, ayat itu bilang bahwa Suami boleh menikah satu, dua, tiga, empat kali”.
“Tapi Bunda dengar kalau mau menikah lebih dari satu harus adil pada Istri”, Nyonya tercekat, air mata mengalir di pipinya, Ia lalu menghela nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimat yang terpotong. “Istri-istrinya”.
Ku lihat Tuan perlahan beringsut dari bangku nya, ia mengelilingi meja untuk mendekat pada Nyonya, Ia berlutut, barangkali begitulah caranya melamar Nyonya dulu. Kubayangkan saat itu ia berjanji akan membuat Nyonya bahagia selama-lamanya. Tak Nyonya tau bahagia selama-lamanya itu ternyata tidak sepaket dengan menjadi satu-satunya.
“Ada tujuh hari dalam seminggu Bunda, Ayah akan pulang, empat hari Ayah dirumah ini, hanya tiga hari Ayah bersamanya”.
Nyonya diam saja, Tuan kemudian bicara lagi.
“Kalau bengitu terserah bunda, kapanpun Bunda mau, Ayah pulang”.
“Kenapa tidak sekalian biarkan Dia tinggal dirumah ini”.
Ku lihat Nyonya mengapus air matanya, Ia masih sempat melepaskan tangan Tuan dengan lembut, suaranya juga lembut. Ia selalu lembut. Bahkan ketika berdiri dari duduknya, melangkah pergi dari dapur Ia tetap lembut. Tuan yang lambat duduk di bangku tempat Istrinya tadi menangis karenanya. Wajahnya muram, melihat istrinya menangis benar-benar tidak nyaman. Tapi surga memang mahal dan  lebih dari satu baginya memang halal.
Esok harinya ketika kubuka pintu rumah setelah mendengar bunyi bel. Istri Guru mengaji keluarga ini datang. Kami panggil Ia Umi, ku persilahkan Ia masuk dan ku panggil Nyonya di kamarnya. Tuan telah pergi kekantor, Anak-anak sudah pergi sekolah. Ketika kuketuk pintu kamar, Nyonya membuka pintu dengan lambat, Ia melangkah tak kalah lambat, Ia tak bertenya ada apa, Ia bahkan tidak menatap wajahku. Mungkin pertemuan ini telah terjadwal, mungkin tadi malam Ia telah bicara banyak pada Tuan.
Setelah ku letakan dua cangir teh di atas meja, Umi berterima kasih padaku, Nyonya menunduk. Lalu kudengar percakapan mereka diruang tamu, kulihat dari balik lemari kaca yang memisahkan ruang tamu dan tempat ku berdiri.
“Perempuan di istimewakan Anakku”.
Umi menatap wajah Nyonya yang sembab. Tangannya menyentuh punggung tangan Nyonya.
“Tak perlu pergi berperang untuk mendapatkan kunci surga. Perempuan hanya harus merelakan hatinya cemburu. Mulia Anakku, mulia Perempuan yang mau berbagi”.
“Tapi bukan berbagi Suami”.
Kudengar suara itu, bukan lagi suara lembut seperti yang selalu kudengar. Umi menghela nafasnya dalam-dalam. Aku tau Ia mengerti, Aku tau Umi mengerti hancurnya perempuan yang diduakan atas nama ayat tuhan. Mengatakan tidak, menentang agama. Mengatakan Iya, menentang seluruh  isi jiwa. Aku tau itu bahkan ketika aku kecil. Ketika Umi mengangis diam-diam.
“Surga Anakku, di surgalah kita akan hidup selamanya, bukan didunia ini, hanya sebentar Kita berbagi hati. Ratu Anakku, Ratu kita dikehidupan abadi nanti”.
Lalu sunyi yang lama. Mungkinkan Nyonya akan mengiyakan. Mungkinkan Nyonya akan membayar surganya dengan kontan. Mungkinkan Perempuan lembut itu akan menyerahkan dirinya pada permintaan si Tuan yang lambat.
“Apakah di surga masih akan ada yang kedua?”.
Kulihat wajah Umi yang berubah ekspresi, senyum ramahnya yang indah menghilang seketika.
“Jika iya maka maaf, silahkan tawarkan surga itu pada Orang lain, Saya lebih senang menjadi budak bagi diri Saya sendiri dari pada menjadi Ratu bagi Raja dengan seorang, dua, tiga atau empat selir”.
Nyonya lalu berlalu, tanpa basa basi Ia berdiri. Namun, dilangkah ketiga Ia berbalik.
“Rasulullah tidak pernah menjadikan Perempuan perawan madunya. Anda yang bukan Ibu Saya tolong tanyakan ini pada suami Anda, Pernahkah membaca ayat 129? Pernahkan anda memaknai, bukan sekedar mengartikan?”.
Umi tidak sempat mengatakan apapun ketika Nyonya melangkah. Tidak pernah kulihat Ia setegas dan terlihat sekuat itu. Ketika lewat disampingku Ia melangkah cepat, bahunya dan bahuku bertabrakan, Dia sengaja. Ketika itu kuyakini, Ia tidak akan datang kepernikahan Kami, pernikahan Aku dan Tuan. Ia tidak akan melihat kami duduk berdampingan.
Apakah di surga masih akan ada yang kedua? Aku lega. Nyonya tidak mengambil jatah surganya. Akupun takut disurga juga harus menjadi yang kedua. Kini Aku yang pertama. Seseorang yang minta dipanggil ahli agama akan merasa berhasil. Umi akan lega mungkin juga sekaligus luka. Apakah di surga masih akan ada yang kedua? Semoga tidak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar