Apakah di Surga Masih Akan Ada
Yang Kedua?
Di meja makan kudengar obrolan Tuan
dan Nyonya, suara Tuan yang lambat dan suara Nyonya yang lembut. Suara dentingan
garpu dan sendok telah berhenti. Suara Anak-Anak yang bercerita tantang sekolah,
tentang mainan mereka, tentang janji nonton film diakhir pekan, sudah
menghilang. Semua Anak, tiga jumlahnya telah pergi kesekolah, diantar Supir.
Sayup, suara Nyonya yang lembut tenggelam, oleh isakan.
Keluarga ini bahagia, seharusnya
menjadi lebih bahagia ketika mereka akhirnya bertemu dengan seseorang yang
minta dipanggil ahli agama, yang datang setiap malam selasa. Mengajari mengaji
dan terjemah ayatnya. Tapi, tidak, sebelumnya tak pernah sekalipun sepanjang Aku
bekerja, Nyonya tidak bahagia. Namun kali ini, Nyonya terisak, kufikir tentu
saja ada yang rusak, hatinya.
“Bunda dengar sendiri kata Bapak ahli
agama kita, Ayah lupa ayat berapa, ayat itu bilang bahwa Suami boleh menikah
satu, dua, tiga, empat kali”.
“Tapi Bunda dengar kalau mau
menikah lebih dari satu harus adil pada Istri”, Nyonya tercekat, air mata
mengalir di pipinya, Ia lalu menghela nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan
kalimat yang terpotong. “Istri-istrinya”.
Ku lihat Tuan perlahan beringsut
dari bangku nya, ia mengelilingi meja untuk mendekat pada Nyonya, Ia berlutut,
barangkali begitulah caranya melamar Nyonya dulu. Kubayangkan saat itu ia berjanji
akan membuat Nyonya bahagia selama-lamanya. Tak Nyonya tau bahagia selama-lamanya
itu ternyata tidak sepaket dengan menjadi satu-satunya.
“Ada tujuh hari dalam seminggu Bunda,
Ayah akan pulang, empat hari Ayah dirumah ini, hanya tiga hari Ayah bersamanya”.
Nyonya diam saja, Tuan kemudian
bicara lagi.
“Kalau bengitu terserah bunda,
kapanpun Bunda mau, Ayah pulang”.
“Kenapa tidak sekalian biarkan
Dia tinggal dirumah ini”.
Ku lihat Nyonya mengapus air
matanya, Ia masih sempat melepaskan tangan Tuan dengan lembut, suaranya juga
lembut. Ia selalu lembut. Bahkan ketika berdiri dari duduknya, melangkah pergi
dari dapur Ia tetap lembut. Tuan yang lambat duduk di bangku tempat Istrinya
tadi menangis karenanya. Wajahnya muram, melihat istrinya menangis benar-benar tidak
nyaman. Tapi surga memang mahal dan lebih
dari satu baginya memang halal.
Esok harinya ketika kubuka pintu
rumah setelah mendengar bunyi bel. Istri Guru mengaji keluarga ini datang. Kami
panggil Ia Umi, ku persilahkan Ia masuk dan ku panggil Nyonya di kamarnya. Tuan
telah pergi kekantor, Anak-anak sudah pergi sekolah. Ketika kuketuk pintu
kamar, Nyonya membuka pintu dengan lambat, Ia melangkah tak kalah lambat, Ia
tak bertenya ada apa, Ia bahkan tidak menatap wajahku. Mungkin pertemuan ini
telah terjadwal, mungkin tadi malam Ia telah bicara banyak pada Tuan.
Setelah ku letakan dua cangir teh
di atas meja, Umi berterima kasih padaku, Nyonya menunduk. Lalu kudengar
percakapan mereka diruang tamu, kulihat dari balik lemari kaca yang memisahkan
ruang tamu dan tempat ku berdiri.
“Perempuan di istimewakan Anakku”.
Umi menatap wajah Nyonya yang
sembab. Tangannya menyentuh punggung tangan Nyonya.
“Tak perlu pergi berperang untuk
mendapatkan kunci surga. Perempuan hanya harus merelakan hatinya cemburu. Mulia
Anakku, mulia Perempuan yang mau berbagi”.
“Tapi bukan berbagi Suami”.
Kudengar suara itu, bukan lagi
suara lembut seperti yang selalu kudengar. Umi menghela nafasnya dalam-dalam. Aku
tau Ia mengerti, Aku tau Umi mengerti hancurnya perempuan yang diduakan atas
nama ayat tuhan. Mengatakan tidak, menentang agama. Mengatakan Iya, menentang seluruh
isi jiwa. Aku tau itu bahkan ketika aku
kecil. Ketika Umi mengangis diam-diam.
“Surga Anakku, di surgalah kita
akan hidup selamanya, bukan didunia ini, hanya sebentar Kita berbagi hati. Ratu
Anakku, Ratu kita dikehidupan abadi nanti”.
Lalu sunyi yang lama. Mungkinkan Nyonya
akan mengiyakan. Mungkinkan Nyonya akan membayar surganya dengan kontan. Mungkinkan
Perempuan lembut itu akan menyerahkan dirinya pada permintaan si Tuan yang
lambat.
“Apakah di surga masih akan ada
yang kedua?”.
Kulihat wajah Umi yang berubah
ekspresi, senyum ramahnya yang indah menghilang seketika.
“Jika iya maka maaf, silahkan
tawarkan surga itu pada Orang lain, Saya lebih senang menjadi budak bagi diri Saya
sendiri dari pada menjadi Ratu bagi Raja dengan seorang, dua, tiga atau empat
selir”.
Nyonya lalu berlalu, tanpa basa basi
Ia berdiri. Namun, dilangkah ketiga Ia berbalik.
“Rasulullah tidak pernah menjadikan
Perempuan perawan madunya. Anda yang bukan Ibu Saya tolong tanyakan ini pada
suami Anda, Pernahkah membaca ayat 129? Pernahkan anda memaknai, bukan sekedar
mengartikan?”.
Umi tidak sempat mengatakan apapun
ketika Nyonya melangkah. Tidak pernah kulihat Ia setegas dan terlihat sekuat
itu. Ketika lewat disampingku Ia melangkah cepat, bahunya dan bahuku
bertabrakan, Dia sengaja. Ketika itu kuyakini, Ia tidak akan datang kepernikahan
Kami, pernikahan Aku dan Tuan. Ia tidak akan melihat kami duduk berdampingan.
Apakah di surga masih akan ada
yang kedua? Aku lega. Nyonya tidak mengambil jatah surganya. Akupun takut
disurga juga harus menjadi yang kedua. Kini Aku yang pertama. Seseorang yang
minta dipanggil ahli agama akan merasa berhasil. Umi akan lega mungkin juga
sekaligus luka. Apakah di surga masih akan ada yang kedua? Semoga tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar